Sabtu, 18 Mei 2013

Hadapi Tantangan Globalisasi Dengan Bijak


Photo


Prof. Dr . Budhi Santoso secara resmi membuka Musyawarah Pimpinan Paripurna LMR-RI di Taman Mini Indonesia Indah pada tanggal 27 September lalu. Upacara pemukulan gong dilakukan setelah beliau menyampaikan sambutan tanpa teks tertulis. Mengawali sambutannya Prof. Dr. S Budhi Santoso mengungkapkan sejarah awal LMR-RI ketika awal kemerdekaan dengan missi utama melakukan penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi sebagai Negara yang baru merdeka dengan proklamasi 17 Agustus 1945. Penyelesaian itu tidak menyangkut urusan-urusan hukum dan perundang undangan, tapi lebih banyak mengenai masalah-masalah sosial, budaya, ekonomi dan lainnya. “Itu sebab saya katakan saya merasa gembira dapat berbicara di depan rekan-rekan para anggota LMRRI”, katanya.
Dia mengungkapkan bahwa suatu ketika pernah ditanya oleh Sudi Silalahi (kini menteri sekretraris Negara), “Apakah missi reclasseering itu?. Bukan kah itu dulu dibentuk pada awal kemerdekaan dan tugasnya sudah selesai ?”. Beliau menjawab, “Persoalan bangsa ini tidak akan pernah selesai”. (Mendapat applaus dari hadirin).
Dia gambarkan, bahwa sebelum kemerdekaan, para pemuda telah bergerak secara politis untuk mempersatukan bangsa Indonesia terutama dengan dicanangkannya konsep ‘berbahasa satu yakni bahasa Indonesia”.bahasa Indonesia adalah salah saru alat pemersatu bangsa yang penting yang memudahkan komunikasi antar sesama elemen bangsa dan kemudian diabad sekarang ini disamping tantangan dari dalam, ada tantangan dari luar. Tantangan dari dalam muncul sebagai konsekwensi keberagaman yang tumbuh di Indonesia yakni keberagaman dalam budaya, adar dan agama yang perlu dihadapi dengan bijak.
Dalam melanjutkan sambutannya dia menyebutkan seorang Ahli sosiologi dari Barat ada menulis tentang Sukarno. Mengutip penulis ini dia katakan “ Bung Karno menghabiskan seluruh hidupnya untuk melaksanakan revolusi terintegrasi, dan dia belum pernah menikmati hasilnya”. Maksudnya Bung Karno bukan hanya melaksanakan revolusi politik, tapi juga revolusi social budaya dan ekonomi.
“Di samping tantangan dari dalam, yang tak kalah pentingnya adalah adanya tantangan dari luar diantaranya bergulirnya globalisasi dalam hampir semua aspek kehidupan. Kita tidak mungkin menghindar dari era globalisasi dengan seluruh aspeknya, namun kita harus mengantisipasi dan menghadapinya dengan bijak”, katanya.
Dengan mengilustrasikan budaya Jawa yang di dalam benaknya ada kehidupan makhluk yang tidak kelihatan seperti gendruwo, bagas pati, kalong wewe, tuyul dan lain-lainnya. Dikatakannya, umumnya dalam menghadapi semua makhluk halus ini orang Jawa dikuasai oleh rasa takutnya. Mereka bersembunyi di balik selimutnya karena takut berhadapan dengan makhluk halus yang bahkan belum pernah dilihat atau dijumpainya kecuali di sinetron dengan judul beranak dalam kubur dan lainnya. Namun ada juga yang bersikap pintar, belajar tentang morphologi setan dan menemukan ada jenis setan yang bisa dimanfaatkan yakni tuyul dan kemudian digunakannya untuk mencari uang. (Kembali appalus riuh dari hadirin)
Beliau contohkan ini untuk menghimbau agar masyarakat Indonesia bersikap bijak menghadapi globalisasi agar dapat mengambil manfaat dan menghindar dari risiko negatipnya. Globalisasi diartikannya sebagai berkembangnya sistem ekonomi pasar bebas yang kapitalistis. “Tidak mungkin kita memagar diri dari ekonomi pasar bebas yang kapitalistis. Tidak mungkin kita menutup Negara kira dari pengaruh globalisasi. Namun kita harus pandai-pandai memanfaatkan peluang dan mengatasi tantangan yang muncul demi kesejahteraan. Untuk itu beliau contohkan dengan China yang secara resmi adalah Negara sosialis komunis, namun mampu memanfaatkan system dan melaksanakan pasar bebas sehingga menjadi Negara dengan ekonomi yang menimbulkan rasa takut amerika dan Negara eropah umumnya. “Ini berkat kepiawaian pemimpin pemimpin Cina”, katanya mengomentari hal ini.
Kita bangsa Indonesia harus bisa melakukan hal yang sama. Sensus menyebutkan bahwa penduduk golongan menegah Indonesia naik 20 persen. Tentu mereka adalah orang orang yang mampu memanfaatkan peluang, bukan seperti orang Jawa yang takut pada setan”, katanya berseloroh. Dia berpendapat,penduduk miskin Indonesia bukan semakin banyak, tetapi penderitaan mereka semakin besar karena ketidak mampuan mengikuti perkembangan ekonomi golongan menengah.(rms)